Maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan kata,,,
Namanya masih amatiran...
I HOPE YOU LIKE IT...
***
“Mamaaaaaaaaaa……” Teriak seorang
gadis yang berlari menuruni tangga dengan wajah kesal. Sang mama yang ada di
dapur mengelus dada mendengar teriakan anak perempuannya itu.
“Kamu itu kebiasaan deh! Bisa
nggak sehari aja nggak teriak-teriak.” Sungut Mamanya. Gadis itu hanya
cengengesan mendapatkan semburan dari mamanya, tapi seketika wajahnya langsung
berubah kesal.
“Mama,,, Ify bosan di rumah
terus. Ify pengen kayak Rio yang bisa sekolah formal. Ify nggak mau home
schooling Ma.” Ucapnya mengeluarkan segala uneg-unegnya. Sang Mama menatap
anaknya iba, di elusnya rambut panjang anaknya. Tak terasa peri kecilnya itu
telah tumbuh dewasa.
“Kamu itu istimewa Fy…” Yahh,,,
sungguh bosan gadis itu ketika mamanya selalu mengeluarkan kata-kata itu.
ISTIMEWA!!! Istimewa apanya, ia tahu ia adalah anak dari keluarga terpandang,
ia tahu ia diperlakukan istimewa oleh keluarganya, tapi bukan ini yang ia
harapkan. Ia ingin seperti remaja lainnya yang menikmati masa remaja mereka
dengan pergaulan. Tidak seperti dia yang dari kecil selalu berada di dalam
rumah, seperti katak dalam tempurung.
“Ify bosan Mama selalu ngomong
itu. Istimewa,,,istimewa,,, kalau bisa memilih Ify nggak mau terlahir sebagai
anak yang istimewa.” Ucapnya dengan nada tinggi, Mamanya menatap Ify tak
percaya. Sungguh, baru kali ini ia mendengar Ify marah.
“Ify, jaga omongan kamu!” Bentak
mamanya.
“Mama kenapa sih nggak pernah
mengerti perasaan Ify, Ify selalu tersiksa Ma, Ify pengen punya temen, Ify pengen
layaknya anak lainnya. Dari kecil Ify selalu di kekang, ini nggak adil Ma, Rio
bisa seperti yang lainnya, kenapa Ify enggak.” Keluhnya. Ia menangis setiap
mengucapkan kata-kata itu. Apa bedanya ia dan Rio? Mereka sama-sama anak
Mamanya? Rio bisa sekolah formal, kenapa dia tidak?
Sang Mama mendekap gadisnya erat,
miris hatinya melihat putri semata wayangnya menangis seperti ini.
“Maafin Mama Fy, Mama lakukan ini
demi kebaikan kamu…” Ucap sang Mama kemudian mencium puncak kepala Ify.
Mendengar itu hati Ify teriris, keputusan tetap sama. Mamanya tidak akan
mengizinkannya masuk sekolah formal. Dengan sekuat tenaga, ia berontak dari
pelukan Mamanya dan berlari lagi ke atas menuju kamarnya. Sang Mama hanya
menatap anaknya iba, sungguh ia tak menginginkan kejadian ini.
“Rio pulang…….”
Tiba-tiba sebuah suara langsung
mengalihkan perhatian Mama Shasa, ia menatap pemilik asal suara yang tengah
menghampirinya.
“Loh! Mama kenapa nangis?” Tanya
Rio heran, sang Mama hanya menggeleng kemudian tersenyum.
“Mama nggak apa-apa! Ganti baju
gih habis itu makan siang, bujuk adek kamu supaya mau makan.” Ucap Mama Shasa.
Rio menatap curiga Mamanya, pasti ada apa-apanya! Kalau tidak ada apa-apa
kenapa Mamanya menangis dan kenapa pula ia harus membujuk adiknya supaya makan?
Biasanya kan itu anak sudah langsung turun apalagi ketika Rio berteriak pulang,
Ify-adiknya itu pasti menghampirinya dan memeluknya erat seakan-akan tidak
bertemu satu tahun, padahal nyatanya hanya setengah hari. Terus kemana adiknya
itu? Kok tidak kelihatan. Ahh,,, ya sudahlah, lebih baik ia ke atas dan menemui
Ify. Semoga saja Ify tahu apa yang terjadi dengan Mamanya itu.
“Ya sudah, Rio ke atas dulu Ma…”
Pamitnya, Mamanya hanya tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat
tertunda.
***
Gadis itu menatap sendu langit
biru yang di penuhi awan-awan putih dengan berbagai bentuk. Mencoba mencari
ketenangan agar pikirannya tidak kalut lagi. Sungguh ia menyesal telah
membentak Mamanya, tapi ia hanya ingin Mamanya tahu bahwa ia tersiksa dengan
keadaan ini. Dari kecil ia selalu merasa asing… Asing terhadap dirinya yang
jika melakukan hal yang sedikit melelahkan pasti langsung sulit bernafas,
pernah suatu kali ia berlari mengejar kupu-kupu sampai ia harus di opname di
rumah sakit. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengannya sehingga itu yang membuat
sang Mama overprotektif kepadanya dan tak mengijinkannya melakukan hal yang
berhubungan dengan dunia luar.
Sungguh miris nasibnya yang hanya
bisa memandangi lapangan basket dari balkon kamarnya, melihat anak-anak kecil
berlarian, atau gadis sepantarannya bersepeda keliling kompleks serta anak
laki-laki dan Rio bermain basket di lapangan itu. Ia masih betah menatap
langit, seolah-olah berbicara kepada langit bahwa ia ingin seperti yang
lainnya.
“Kenapa?” Sebuah bisikan tepat di
telinga kanannya dan rengkuhan dari belakang itu membuat tubuhnya menegang.
Hembusan nafas yang terasa di lehernya itu sulit membuatnya bernafas. Ia
mencoba menetralisirkan perasaannya, agar tidak emosi ketika mendengar
pertanyaan ‘kenapa?’ itu atau itu bukan emosi tapi… Ah sudahlah, tidak mungkin?
Ia tetap diam tak merespon, sehingga membuat si pelaku yang memeluknya itu
memutar badannya. Ia membuang pandangan tatkala mata itu menatapnya dengan
teduh.
“Ada masalah?” Gadis itu
menggeleng.
“Ify…” Panggilnya lembut, kemudian
mengarahkan pandangan Ify kepadanya, ia menangkup wajah Ify dengan kedua
tangannya. Menatap lembut mata milik adik kembarannya itu.
“Kamu punya masalah sama Mama?”
Tanyanya. Perlahan-lahan mata yang tadinya sendu kini mengeluarkan airmata.
“Ify benci Mama…” Isaknya.
“Kenapa?” Masih dengan nada
lembut, ia bertanya.
“Ify mau sekolah formal, Ify
nggak mau home schooling. Ify bosan di rumah terus, Ify mau punya banyak temen
seperti Rio.” Lirih Ify. Ia tersenyum, kemudian memeluk Ify erat dan
menenggelamkan wajah Ify dalam bidang dadanya.
“Karena itu Ify buat Mama
nangis?” Ify melepaskan pelukan itu dan menatap lawan bicaranya sinis.
“Ify nggak maksud buat Mama
nangis…” Bentaknya tak ingin di salahkan.
“Ify hanya ingin Mama tahu apa
yang Ify inginkan…” Lanjutnya lirih.
“Ya sudah nanti Rio ngomong sama
Mama supaya kamu masuk sekolah formal, sekarang makan ya! Mama udah nunggu di
bawah.” Bujuknya.
“Beneran!” Tanya Ify dengan wajah
berbinar-binar. Ia mengangguk.
“Makasih Rio…” Ucap Ify senang kemudian
memeluk kakak kembarannya itu erat. Ada rasa nyaman di antara keduanya saat
merasakan sensasi hangat itu.
***
Kedua orang itu saling diam
setelah apa yang mereka perdebatkan, masih bertahan dengan ego masing-masing.
Kedua-duanya ingin yang terbaik untuk Ify, lalu mana yang akan mereka turuti?
Ify tetap home schooling di rumah atau masuk sekolah formal?
“Please Ma,,, believe me!”
Mohonnya dengan wajah melas, sudah hampir setengah jam Rio memohon pada Mamanya
agar Ify masuk sekolah formal. Mama mendesah.
“MaafRio, Mama nggak bisa
melakukan itu.” Kukuh Mamanya.
“Ma, Rio janji akan mengawasi
setiap gerak-gerik Ify, kejadian dulu takkan terulangi.”
“Mama takut Yo… Maaf mama nggak
bisa.”
“Ma,,, apa Mama mau mengecewakan
perasaan Ify?Ma, sekali ini saja turuti permintaan dia. Rio mohon Ma, Rio nggak
mau Ify terus tersiksa.” Lirih Rio. Sungguh dilema hati Mama, di satu sisi ia
tak mau Ify kenapa-napa, disisi lain ia tak ingin Ify tersiksa?
“Baiklah! Mama akan turuti
permintaan Ify, lusa dia masuk sekolah kamu. Tapi ingat, kamu harus jaga Ify
dengan baik.” Akhirnya luluh jugalah hati sang Mama. Rio menatap mamanya dengan
wajah berbinar-binar seakan-akan baru mendapatkan hadiah mobil Ferari. Ia
memeluk Mamanya.
“Makasih Ma!” Mamanya hanya
tersenyum dan memejamkan mata.
Semoga ini yang terbaik untuknya…
Batin sang Mama.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar