Selasa, 16 April 2013

Twins In Love Part 1

Ini pertama kalinya saya nge-post cerbung...
Maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan kata,,,
Namanya masih amatiran...
I HOPE YOU LIKE IT...

***


“Mamaaaaaaaaaa……” Teriak seorang gadis yang berlari menuruni tangga dengan wajah kesal. Sang mama yang ada di dapur mengelus dada mendengar teriakan anak perempuannya itu.
“Kamu itu kebiasaan deh! Bisa nggak sehari aja nggak teriak-teriak.” Sungut Mamanya. Gadis itu hanya cengengesan mendapatkan semburan dari mamanya, tapi seketika wajahnya langsung berubah kesal.
“Mama,,, Ify bosan di rumah terus. Ify pengen kayak Rio yang bisa sekolah formal. Ify nggak mau home schooling Ma.” Ucapnya mengeluarkan segala uneg-unegnya. Sang Mama menatap anaknya iba, di elusnya rambut panjang anaknya. Tak terasa peri kecilnya itu telah tumbuh dewasa.
“Kamu itu istimewa Fy…” Yahh,,, sungguh bosan gadis itu ketika mamanya selalu mengeluarkan kata-kata itu. ISTIMEWA!!! Istimewa apanya, ia tahu ia adalah anak dari keluarga terpandang, ia tahu ia diperlakukan istimewa oleh keluarganya, tapi bukan ini yang ia harapkan. Ia ingin seperti remaja lainnya yang menikmati masa remaja mereka dengan pergaulan. Tidak seperti dia yang dari kecil selalu berada di dalam rumah, seperti katak dalam tempurung.
“Ify bosan Mama selalu ngomong itu. Istimewa,,,istimewa,,, kalau bisa memilih Ify nggak mau terlahir sebagai anak yang istimewa.” Ucapnya dengan nada tinggi, Mamanya menatap Ify tak percaya. Sungguh, baru kali ini ia mendengar Ify marah.
“Ify, jaga omongan kamu!” Bentak mamanya.
“Mama kenapa sih nggak pernah mengerti perasaan Ify, Ify selalu tersiksa Ma, Ify pengen punya temen, Ify pengen layaknya anak lainnya. Dari kecil Ify selalu di kekang, ini nggak adil Ma, Rio bisa seperti yang lainnya, kenapa Ify enggak.” Keluhnya. Ia menangis setiap mengucapkan kata-kata itu. Apa bedanya ia dan Rio? Mereka sama-sama anak Mamanya? Rio bisa sekolah formal, kenapa dia tidak?
Sang Mama mendekap gadisnya erat, miris hatinya melihat putri semata wayangnya menangis seperti ini.
“Maafin Mama Fy, Mama lakukan ini demi kebaikan kamu…” Ucap sang Mama kemudian mencium puncak kepala Ify. Mendengar itu hati Ify teriris, keputusan tetap sama. Mamanya tidak akan mengizinkannya masuk sekolah formal. Dengan sekuat tenaga, ia berontak dari pelukan Mamanya dan berlari lagi ke atas menuju kamarnya. Sang Mama hanya menatap anaknya iba, sungguh ia tak menginginkan kejadian ini.
“Rio pulang…….”
Tiba-tiba sebuah suara langsung mengalihkan perhatian Mama Shasa, ia menatap pemilik asal suara yang tengah menghampirinya.
“Loh! Mama kenapa nangis?” Tanya Rio heran, sang Mama hanya menggeleng kemudian tersenyum.
“Mama nggak apa-apa! Ganti baju gih habis itu makan siang, bujuk adek kamu supaya mau makan.” Ucap Mama Shasa. Rio menatap curiga Mamanya, pasti ada apa-apanya! Kalau tidak ada apa-apa kenapa Mamanya menangis dan kenapa pula ia harus membujuk adiknya supaya makan? Biasanya kan itu anak sudah langsung turun apalagi ketika Rio berteriak pulang, Ify-adiknya itu pasti menghampirinya dan memeluknya erat seakan-akan tidak bertemu satu tahun, padahal nyatanya hanya setengah hari. Terus kemana adiknya itu? Kok tidak kelihatan. Ahh,,, ya sudahlah, lebih baik ia ke atas dan menemui Ify. Semoga saja Ify tahu apa yang terjadi dengan Mamanya itu.
“Ya sudah, Rio ke atas dulu Ma…” Pamitnya, Mamanya hanya tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
***
Gadis itu menatap sendu langit biru yang di penuhi awan-awan putih dengan berbagai bentuk. Mencoba mencari ketenangan agar pikirannya tidak kalut lagi. Sungguh ia menyesal telah membentak Mamanya, tapi ia hanya ingin Mamanya tahu bahwa ia tersiksa dengan keadaan ini. Dari kecil ia selalu merasa asing… Asing terhadap dirinya yang jika melakukan hal yang sedikit melelahkan pasti langsung sulit bernafas, pernah suatu kali ia berlari mengejar kupu-kupu sampai ia harus di opname di rumah sakit. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengannya sehingga itu yang membuat sang Mama overprotektif kepadanya dan tak mengijinkannya melakukan hal yang berhubungan dengan dunia luar.
Sungguh miris nasibnya yang hanya bisa memandangi lapangan basket dari balkon kamarnya, melihat anak-anak kecil berlarian, atau gadis sepantarannya bersepeda keliling kompleks serta anak laki-laki dan Rio bermain basket di lapangan itu. Ia masih betah menatap langit, seolah-olah berbicara kepada langit bahwa ia ingin seperti yang lainnya.
“Kenapa?” Sebuah bisikan tepat di telinga kanannya dan rengkuhan dari belakang itu membuat tubuhnya menegang. Hembusan nafas yang terasa di lehernya itu sulit membuatnya bernafas. Ia mencoba menetralisirkan perasaannya, agar tidak emosi ketika mendengar pertanyaan ‘kenapa?’ itu atau itu bukan emosi tapi… Ah sudahlah, tidak mungkin? Ia tetap diam tak merespon, sehingga membuat si pelaku yang memeluknya itu memutar badannya. Ia membuang pandangan tatkala mata itu menatapnya dengan teduh.
“Ada masalah?” Gadis itu menggeleng.
“Ify…” Panggilnya lembut, kemudian mengarahkan pandangan Ify kepadanya, ia menangkup wajah Ify dengan kedua tangannya. Menatap lembut mata milik adik kembarannya itu.
“Kamu punya masalah sama Mama?” Tanyanya. Perlahan-lahan mata yang tadinya sendu kini mengeluarkan airmata.
“Ify benci Mama…” Isaknya.
“Kenapa?” Masih dengan nada lembut, ia bertanya.
“Ify mau sekolah formal, Ify nggak mau home schooling. Ify bosan di rumah terus, Ify mau punya banyak temen seperti Rio.” Lirih Ify. Ia tersenyum, kemudian memeluk Ify erat dan menenggelamkan wajah Ify dalam bidang dadanya.
“Karena itu Ify buat Mama nangis?” Ify melepaskan pelukan itu dan menatap lawan bicaranya sinis.
“Ify nggak maksud buat Mama nangis…” Bentaknya tak ingin di salahkan.
“Ify hanya ingin Mama tahu apa yang Ify inginkan…” Lanjutnya lirih.
“Ya sudah nanti Rio ngomong sama Mama supaya kamu masuk sekolah formal, sekarang makan ya! Mama udah nunggu di bawah.” Bujuknya.
“Beneran!” Tanya Ify dengan wajah berbinar-binar. Ia mengangguk.
“Makasih Rio…” Ucap Ify senang kemudian memeluk kakak kembarannya itu erat. Ada rasa nyaman di antara keduanya saat merasakan sensasi hangat itu.
***
Kedua orang itu saling diam setelah apa yang mereka perdebatkan, masih bertahan dengan ego masing-masing. Kedua-duanya ingin yang terbaik untuk Ify, lalu mana yang akan mereka turuti? Ify tetap home schooling di rumah atau masuk sekolah formal?
“Please Ma,,, believe me!” Mohonnya dengan wajah melas, sudah hampir setengah jam Rio memohon pada Mamanya agar Ify masuk sekolah formal. Mama mendesah.
“MaafRio, Mama nggak bisa melakukan itu.” Kukuh Mamanya.
“Ma, Rio janji akan mengawasi setiap gerak-gerik Ify, kejadian dulu takkan terulangi.”
“Mama takut Yo… Maaf mama nggak bisa.”
“Ma,,, apa Mama mau mengecewakan perasaan Ify?Ma, sekali ini saja turuti permintaan dia. Rio mohon Ma, Rio nggak mau Ify terus tersiksa.” Lirih Rio. Sungguh dilema hati Mama, di satu sisi ia tak mau Ify kenapa-napa, disisi lain ia tak ingin Ify tersiksa?
“Baiklah! Mama akan turuti permintaan Ify, lusa dia masuk sekolah kamu. Tapi ingat, kamu harus jaga Ify dengan baik.” Akhirnya luluh jugalah hati sang Mama. Rio menatap mamanya dengan wajah berbinar-binar seakan-akan baru mendapatkan hadiah mobil Ferari. Ia memeluk Mamanya.
“Makasih Ma!” Mamanya hanya tersenyum dan memejamkan mata.
Semoga ini yang terbaik untuknya… Batin sang Mama.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar