Jumat, 20 September 2013

Game Of Destiny Part 3




 
Debo membawa Ify keluar dari sekolah, sebelum itu dia meminta izin kepada guru piket dengan alasan mengantar Ify sakit. Guru piket percaya saja karena mereka mengenal Debo adalah anak baik dan pintar. Ify memperhatikan di sekelilingnya, tempat ini yang pernah menjadi tempat awal hubungannya dengan Debo. Ify menghentikan tatapannya tepat pada wajah Debo yang tengah memandang lurus ke depan. Wajah kekasihnya itu terlihat begitu tenang tapi ia tahu kalau kekasihnya itu sedang marah. Ify mendengus sebal, kalau mau marah ya marah saja tidak usah disimpan sendirian daripada didiamkan seperti ini terus-menerus.
“De,,, Kamu marah?” Tanya Ify lembut, mungkin hanya dengan Debo, Ify akan bersikap seperti ini.
Debo menghela nafas, ia sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan Ify. Ify memperhatikan Debo yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, benar kan laki-laki ini marah. “Kamu harus percaya sama aku De, aku nggak akan berbuat begitu sama Keke kalau dia nggak nyari masalah sama aku.” Ucap Ify membela dirinya, namun tak ada sahutan apapun dari Debo.
“De,,, ngomong donk. Kamu jangan diamin aku kayak gini, aku paling nggak suka kalau kamu diemin aku.” Rengek Ify dan alhasil usahanya gagal untuk membujuk Debo. Biasanya pria ini paling luluh ketika mendengar rengekan Ify.
“Ok De,,, Ok!!! Kamu boleh minta apapun tapi please jangan diemin aku.” Ucap Ify dengan nada frustasi.
“Apapun itu?” Akhirnya Debo buka suara juga, Ify mengangguk. Apapun akan ia lakukan asal Debo tak lagi marah padanya. “Aku Cuma minta jangan buat ulah lagi di sekolah.” Ucap Debo tegas.
“Aku nggak pernah buat ulah De, semua itu Shilla yang memulainya.” Bela Ify
“ya udah, kamu nggak usah ngelawan Shilla kalau gitu. Kalau kamu diam dia nggak akan cari masalah lagi sama kamu.” Ucap Debo, Ify menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak melawan Shilla sama saja dia kalah sebelum perang, dalam kamus seorang Ify tidak akan tertulis kata ‘KALAH’.
“Nggak! Kalau aku diam dia akan semakin nginjak-nginjak aku De,,, aku nggak bisa.” Tolak Ify tegas. Debo mendesah, ia lupa bahwa gadisnya ini memiliki sifat keras kepala. Terpaksa debo harus menggunakan rencana terakhir agar gadisnya ini mau menuruti keinginannya.
“Kalau kamu nggak mau ya udah kita pu…tus…”
Ify menatap Debo tak percaya, Debo bilang apa? Putus? Ify menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak, ia tak mau putus dengan Debo, ia mencintai Debo.
“Kamu ngancem aku De?” Tanya Ify sarkatis, Debo tersenyum miring.” Aku nggak ngancam kamu, aku lakukan ini karena aku udah bosan dengan sifat kamu. Setahun kita jalani ini, kamu sama sekali nggak ada perubahan.” Jawab Debo.
“Kenapa? Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa nggak dari dulu? Kenapa waktu itu kamu bilang kamu akan ngertiin aku? Ngertiin semua sifat aku. Kamu bilang kamu terima aku apa adanya.” Ucap Ify dengan nada tinggi namun sedikit parau, ia tak bisa menerima ini. Debo tak boleh memutuskannya, siapa lagi yang akan jadi penguatnya dibalik kerapuhannya?
Hati Debo bagai tersayat-sayat, suara Ify yang begitu parau dapat ia dengar secara jelas. Jangan, jangan menangis! Batin Debo memerintahkan.
“Kamu jahat De, kamu nyakiti aku.” Bentak Ify, pertahanannya sudah runtuh, ia menangis dan ini adalah kedua kalinya setelah kepergian Mamanya. Debo mengalihkan pandangannya dari Ify, ia tak sanggup menatap Ify yang sedang menangis.
“Aku lebih sakit Fy… Aku sakit setiap dengar kamu digunjingi seluruh penghuni sekolah, aku sakit saat mereka selalu menjelek-jelekkan kamu. Aku sakit saat lihat kamu jadi tontonan mereka semua. Apa kamu ngerti Fy, Nggak kan? Kamu nggak pernah ngerti gimana jadi aku.” Bentak Debo, Ify semakin terisak, ia tak pernah dibentak begini oleh Debo.
Ify menarik lengan Debo,”Please De,,, jangan putusin aku. Aku cinta kamu De, aku nggak mau kita berakhir sampai disini.” Pinta Ify dengan nada memohon.
“Ok De! Aku akan menuruti permintaan kamu, aku nggak akan buat ulah lagi dan nggak akan melawan Shilla.” Ucap Ify akhirnya, dia sendiri tak ingin putus dengan Debo lebih baik mengikuti kemauan Debo daripada uring-uringan berbulan-bulan karena putus dengan Debo.
“Aku butuh bukti bukan janji.” Ucap Debo, kini ia menghadap ify dan menghapus airmata Ify dengan jari tangannya. “Aku kasih kamu kesempatan dua minggu buat ngubah itu semua. Kalau kamu nggak berubah juga, maaf kita harus berakhir.” Ucap Debo tegas, Ify memeluk debo dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak De,,, Nggak. Aku nggak mau kita berakhir, aku akan buktiin semuanya sama kamu.” Ucap Ify, Debo tersenyum dan balas memeluk Ify erat. Akhirnya rencananya berjalan lancar, ia tersenyum dalam hati. Tak sia-sia ia menahan rasa sakitnya saat mengucapkan kata ‘putus’ yang merupakan sebagian rencananya.
***Game Of Destiny***
Chelsea melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 14.30, sudah setengah jam dari jam pulang sekolah dia menunggu supir jemputannya di halte depan sekolah. Sebenarnya bisa saja dia ke sekolah kakaknya dan ikut pulang bersama kakaknya tapi dia baru ingat kebiasaan kakaknya yang suka shopping dulu sebelum pulang ke rumah.
“Belum pulang Chel?” Chelsea terlonjak kaget mendapati Bagas terduduk di sampingnya di bangku halte. Chelsea tersenyum kikuk, walau sering ia dekat dengan Bagas tapi ia selalu canggung jika dekat dengan pria ini.
“Belum.” Jawab Chelsea singkat. Tangan Chelsea sudah berkeringat dingin, lama-lama bisa mati terduduk dia akibat dekat terus dengan Bagas. Ini kenapa lagi si jantung melompat-lompat. Gerutu Chelsea dalam hati.
“Loe kenapa belum pulang?” Tanya Chelsea sebiasa mungkin.
“Sopir gue belum datang.” Jawab Bagas, Chelsea bingung sendiri mau nanya apa lagi, lebih baik ia diam saja. Sesaat kemudian suasana menjadi hening, bagas sibuk dengan BB-nya. Chelsea melirik ke arah Bagas yang tampak senyum-senyum sendiri memandangi BB-nya, mungkin BBM-an sama cewek kali. Chelsea tersenyum kecut, kenapa ia tak rela ya kalau Bagas BBM-an sama cewek lain. Ahh…Sudah lupakanlah Chelsea, Bagas bukan siapa-siapamu.
Chelsea terperangah mendapati HP-nya berbunyi…
Mang Asep Calling…
Dengan cepat Chelsea mengangkat panggilan tersebut, “Hallo…” “Oh…” Chelsea menutup panggilan tersebut dengan kecewa. Bagas diam-diam memperhatikan wajah Chelsea yang tampak putus asa.
“Kenapa Chel?” Tanya Bagas
“Sopir gue nggak bisa jemput, mobilnya mogok.” Jawab Chelsea
“Bareng gue mau?” Tawar Bagas
“Nggak ah, ntar ngerepotin.” Tolak Chelsea, dalam hati ia merutuki kebodohannya menolak tawaran Bagas. Kapan lagi diantar Bagas pulang, kesempatan tidak datang dua kali.
“Nggak kok. Udah, bareng gue aja. Sekolah udah mulai sepi, loe mau pulang sama siapa lagi.” Ucap Bagas, Chelsea tersenyum. “Ya udah deh.” Ucap Chelsea pasrah. Bagas tersenyum sumringah, hatinya senang Chelsea menerima tawarannya walau tadi butuh paksaan sedikit.
“Tuh, mobil gue. Yuk Chel.” Ajak Bagas menghampiri sebuah mobil yang baru saja berhenti tepat di depan mereka. Chelsea dan Bagas masuk ke dalam mobil tersebut dan duduk di jok belakang.
“Pak… Ngantarin Chelsea dulu ke perumahan Asri ya.” Perintah Bagas pada supirnya, Mang Kadir menganggukkan kepalanya mematuhi perintah majikannya.
Selama dalam perjalanan mereka hanya diam, Bagas dan Chelsea sama-sama bingung untuk memulai pembicaraan. Selama ini mereka berbicara jika ada sahabat-sahabat mereka di dekat mereka, kalau dalam keadaan berdua begini mereka terasa canggung.
Mang Kadir yang sudah mengenal Chelsea karena Chelsea dan teman-temannya serig main ke rumah Bagas dan Mang Kadir yang kebagian tugas mengantar mereka setiap pulang akhirnya membuatnya menjadi tahu dimana letak rumah Chelsea.
Mang Kadir mengehentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah berwarna putih, Bagas dapat melihat rumah tersebut karena gerbangnya terbuka sebagian.
“Makasih ya Gas…” Ucap Chelsea diiringi sebuah senyuman. Bagas balas tersenyum.”Sama-sama.” Chelsea kemudian keluar dari dalam mobil Bagas dan mobil itu pun melesat meninggalkan kediaman Chelsea.
“Elo nggak dengerin ucapan gue ya?” Chelsea terkejut dikarenakan sebuah suara yang tiba-tiba muncul. Gadis itu membalikkan badannya dan mendapati Shilla bersandar pada pinggir gerbang rumah mereka, penampilan Shilla hanya menggunakan kaus belel ketat dan celana jeans pendek di atas lutut, rambutnya ia sanggul secara asal namun tak mengurangi kecantikan gadis itu.
“Ucapan yang mana?” Tanya Chelsea kemudian masuk melewati Shilla. Shilla berdecak sinis kemudian mengikuti Chelsea dari belakang.
“Elo udah pikun atau pura-pura pikun.” Ucap Shilla kesal, Chelsea mendesah berat. Sebenarnya dia ingat tapi demi ingin melihat reaksi Shilla bagaimana kalau dia sudah lupa.
“Mobil mang Asep mogok dijalan terpaksa gue terima tawaran Bagas untuk nganterin gue pulang.” Ucap Chelsea datar.
“Kenapa elo nggak minta pulang bareng sama gue?” Tanya Shilla
“Gue kira elo tadi shopping dulu sama temen-temen elo.” Jawab Chelsea kemudian naik ke tangga menuju lantai dua. Shilla masih mengikuti dari belakang.
“Ok! Alasan elo gue terima, kalau lain kali gue lihat elo dekat dengan Bagas, gue nggak akan segen buat elo tinggal di Paris, sama Oma.” Ancam Shilla.
Chelsea menggerutu, “Iya, bawel Loe ah.” Ucap Chelsea lalu masuk ke dalam kamarnya. Pikirannya sudah pusing akibat memikirkan Bagas ditambah lagi omelan kakaknya yang tergolong tidak bermutu.
“Sampai kapan semua akan berakhir…” Gumam Chelsea kemudian menghempaskan tubuhnya di Sparing Bed.
***Game Of destiny***
Suasana dimeja makan itu tampak begitu hening, hingga suara deheman memecahkan keheningan yang terjadi. Semua menghentikan makan mereka yang sudah selesai dan menatap seseorang pria dewasa yang sudah berkepala empat yang berdehem tadi.
“Papa dengar kamu buat ulah lagi Fy?” Tanya pria itu, Ify menghela nafas. Siapa lagi sih yang membeberkan ini pada papanya? Pihak sekolah? Nggak mungkin, karena mereka nggak tahu perihal kejadian Ify dikantin tadi. Tiba-tiba Ify teringat pada seseorang, mata iIfy pun langsung tertuju pada orang tersebut.
“Fy…” Panggil Papanya karena Ify tidak kunjung menjawab. Ify menatap malas Papanya, “Bukan Ify yang buat ulah Pa tapi ada orang yang cari gara-gara duluan sama Ify.” Ucap ify, matanya melirik Keke yang menurutnya memasang wajah sok polosnya.
“Maka dari itu kamu tarik rambut Keke sampai rontok dan menjadikan semua itu tontonan penghuni sekolah.” Bentak papa Ify, nyali Ify menciut kalau mendengar Papanya membentaknya. Ia meremas-remas ujung bajunya kebiasaannya jika dia dimarahi. Bagas yang ada di samping Ify menggenggam tangan kakaknya, tak tega melihat kakaknya dibentak tapi dia tak berani menolong kakaknya itu mengingat siapa lawan kakaknya, Papanya.
Mama Nadia yang ada di dekat Papa Ify mengelus pundak suaminya agar bersabar, “Sabar Mas… kamu nggak boleh marahi Ify, kasian dia.” Ucap Mama Nadia tak tega, walaupun ia bukan ibu kandung Ify tapi ia merasa kasihan melihat Ify dibentak seperti itu.
“Biar Ma,,, biar dia sadar kalau kelakuannya sudah memalukan Papa.” Ucap Papa Ify, Ify tertunduk, perkataan papanya sangat menyakiti hatinya. Airmatanya mulai menetes, dan ini adalah ketiga kalinya setelah Mamanya meninggal dan hampir diputuskan Debo. Hati Ify memanas mengingat rentetan kejadian hari ini, hari ini ia telah mengeluarkan dua kali airmata dan itu semua karena satu orang yang sama, Keke.
“Jangan marah sama Kak Ify Pa, Kak Ify nggak salah. Semua salah Keke, kalau Keke nggak numpahin minuman ke blazer kak Ify pasti kak Ify nggak akan membuat keributan.” Bela Keke.
Ify yang mendengar itu tersenyum sinis, gadis sok alim itu mulai cari perhatian pada papanya. Ify sudah tidak tahan, ia bangkit dari duduknya.” Jangan pernah belain gue karena gue nggak sudi dibelain sama elo, Gabriel Thalita. Dan untuk elo Tante Nadia jangan sok manis di depan papa gue.” Bentak Ify kemudian pergi dari sana menuju kamarnya.
“Ify jaga omongan kamu…” teriak Papa Ify, namun Ify tak perduli, ia tetap naik ke lantai dua menuju kamarnya. Kenapa ia harus perduli pada ucapan papanya kalau papanya saja tak memperdulikan dirinya. Papanya memang tak perduli apa yang diinginkannya, papanya tak perduli bahwa ia menginginkan ketidakhadiran dua wanita itu di rumah ini, papanya tak perduli kalau dia menginginkan posisi mamanya tidak diganti oleh siapapun, papanya tidak perduli sesakit apa hatinya saat papanya selalu dan selalu membela Keke yang jelas-jelas bukan anak kandungnya. Papanya tak pernah perduli semua itu.
Ify menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan menenggelamkan wajahnya dengan bantal. Ia masih belum berhenti menangis, hatinya masih sakit mengingat setiap perkataan papanya.
Tok!!!Tok!!!Tok!!!
Ify tak menggubris ketukan itu, ia masih saja bertahan pada posisinya. Lambat laun ia mendengar pintu itu dibuka.
“Kak…” Ify dapat mendengar Bagas memanggilnya dan ia dapat merasakan bahwa Bagas sedang duduk di tepi tempat tidurnya. Ify bangkit dari tidurnya dan dengan tiba-tiba memeluk Bagas.
“Gue kangen sama Mama Gas…” Lirih Ify di tengah isakannya, Bagas tersenyum pahit.”Gue juga Kak.” Ify melepaskan pelukannya dan menatap Bagas yang juga ikut menangis akibat terbawa suasana.
“Loe jangan nangis Bego, malu gue punya adik cengeng kayak elo.” Ejek Ify dengan nada bercanda walau ada sedikit isakan karena ia menangis tadi. Bagas menghapus airmatanya dan memanyunkan bibirnya, ia tersenyum dalam hati kalau kakaknya ini tidak suka menciptakan suasana yang begitu mellow.
“Biarin. Elo juga cengeng.” Jawab Bagas, Ify mencubit pipi Bagas gemas.
“Gue baru nyadar kalau sekarang elo udah besar Gas…” Ucap Ify, ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru-warna kesukaannya.
“Berapa lama ya kita nggak menghabiskan waktu bersama-sama lagi.” Gumam Ify
Sejak elo berubah kak, kita nggak pernah sama-sama lagi kayak gini… Ingin sekali Bagas mengucapkan kalimat itu namun ia harus menahannya karena ia tak mau emosi kakaknya terpancing kembali.
“Minggu Loe ada acara nggak? Gue pengen jalan-jalan sama elo dan Alvin.” Tanya Ify
“Nggak ada. Elo pengennya kita bertiga aja Kak?” Tanya Bagas balik, Ify mengangguk. “Yailah, memang mau siapa lagi yang ikut?” Ucap Ify
“Kak Keke…” ucap Bagas takut-takut. Ify tersenyum kecut, Keke lagi Keke lagi…
“gue pengennya kita bertiga aja tapi kalau elo mau dia ikut ya up to you lah.” Ucap Ify malas
Bagas jadi merasa bersalah karena kakaknya kembali murung, “Ya udah deh. Minggu, kita jalan bertiga. Bilangin ke kak Alvin, Loe kan satu sekolah dengan dia.” Wajah Ify berubah sumringah, dia memeluk Bagas sebentar.
“Bener ya kita bertiga? Awas aja kalau Loe ngajak dia. Ok, ntar gue bilang sama Alvin.” Ucap Ify senang. Bagas tersenyum, ia baru saja melihat Ify yang dulu. Ify yang ceria dan riang.
***