Debo membawa Ify keluar dari sekolah, sebelum itu dia
meminta izin kepada guru piket dengan alasan mengantar Ify sakit. Guru piket
percaya saja karena mereka mengenal Debo adalah anak baik dan pintar. Ify
memperhatikan di sekelilingnya, tempat ini yang pernah menjadi tempat awal
hubungannya dengan Debo. Ify menghentikan tatapannya tepat pada wajah Debo yang
tengah memandang lurus ke depan. Wajah kekasihnya itu terlihat begitu tenang
tapi ia tahu kalau kekasihnya itu sedang marah. Ify mendengus sebal, kalau mau
marah ya marah saja tidak usah disimpan sendirian daripada didiamkan seperti
ini terus-menerus.
“De,,, Kamu marah?” Tanya Ify lembut, mungkin hanya dengan
Debo, Ify akan bersikap seperti ini.
Debo menghela nafas, ia sama sekali tak berniat menjawab
pertanyaan Ify. Ify memperhatikan Debo yang tak kunjung menjawab pertanyaannya,
benar kan laki-laki ini marah. “Kamu harus percaya sama aku De, aku nggak akan
berbuat begitu sama Keke kalau dia nggak nyari masalah sama aku.” Ucap Ify
membela dirinya, namun tak ada sahutan apapun dari Debo.
“De,,, ngomong donk. Kamu jangan diamin aku kayak gini, aku
paling nggak suka kalau kamu diemin aku.” Rengek Ify dan alhasil usahanya gagal
untuk membujuk Debo. Biasanya pria ini paling luluh ketika mendengar rengekan
Ify.
“Ok De,,, Ok!!! Kamu boleh minta apapun tapi please jangan
diemin aku.” Ucap Ify dengan nada frustasi.
“Apapun itu?” Akhirnya Debo buka suara juga, Ify mengangguk.
Apapun akan ia lakukan asal Debo tak lagi marah padanya. “Aku Cuma minta jangan
buat ulah lagi di sekolah.” Ucap Debo tegas.
“Aku nggak pernah buat ulah De, semua itu Shilla yang
memulainya.” Bela Ify
“ya udah, kamu nggak usah ngelawan Shilla kalau gitu. Kalau
kamu diam dia nggak akan cari masalah lagi sama kamu.” Ucap Debo, Ify
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak melawan Shilla sama saja dia kalah
sebelum perang, dalam kamus seorang Ify tidak akan tertulis kata ‘KALAH’.
“Nggak! Kalau aku diam dia akan semakin nginjak-nginjak aku
De,,, aku nggak bisa.” Tolak Ify tegas. Debo mendesah, ia lupa bahwa gadisnya
ini memiliki sifat keras kepala. Terpaksa debo harus menggunakan rencana
terakhir agar gadisnya ini mau menuruti keinginannya.
“Kalau kamu nggak mau ya udah kita pu…tus…”
Ify menatap Debo tak percaya, Debo bilang apa? Putus? Ify
menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak, ia tak mau putus dengan Debo, ia
mencintai Debo.
“Kamu ngancem aku De?” Tanya Ify sarkatis, Debo tersenyum
miring.” Aku nggak ngancam kamu, aku lakukan ini karena aku udah bosan dengan
sifat kamu. Setahun kita jalani ini, kamu sama sekali nggak ada perubahan.”
Jawab Debo.
“Kenapa? Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa nggak dari
dulu? Kenapa waktu itu kamu bilang kamu akan ngertiin aku? Ngertiin semua sifat
aku. Kamu bilang kamu terima aku apa adanya.” Ucap Ify dengan nada tinggi namun
sedikit parau, ia tak bisa menerima ini. Debo tak boleh memutuskannya, siapa
lagi yang akan jadi penguatnya dibalik kerapuhannya?
Hati Debo bagai tersayat-sayat, suara Ify yang begitu parau
dapat ia dengar secara jelas. Jangan, jangan menangis! Batin Debo
memerintahkan.
“Kamu jahat De, kamu nyakiti aku.” Bentak Ify, pertahanannya
sudah runtuh, ia menangis dan ini adalah kedua kalinya setelah kepergian
Mamanya. Debo mengalihkan pandangannya dari Ify, ia tak sanggup menatap Ify
yang sedang menangis.
“Aku lebih sakit Fy… Aku sakit setiap dengar kamu digunjingi
seluruh penghuni sekolah, aku sakit saat mereka selalu menjelek-jelekkan kamu.
Aku sakit saat lihat kamu jadi tontonan mereka semua. Apa kamu ngerti Fy, Nggak
kan? Kamu nggak pernah ngerti gimana jadi aku.” Bentak Debo, Ify semakin
terisak, ia tak pernah dibentak begini oleh Debo.
Ify menarik lengan Debo,”Please De,,, jangan putusin aku.
Aku cinta kamu De, aku nggak mau kita berakhir sampai disini.” Pinta Ify dengan
nada memohon.
“Ok De! Aku akan menuruti permintaan kamu, aku nggak akan
buat ulah lagi dan nggak akan melawan Shilla.” Ucap Ify akhirnya, dia sendiri
tak ingin putus dengan Debo lebih baik mengikuti kemauan Debo daripada
uring-uringan berbulan-bulan karena putus dengan Debo.
“Aku butuh bukti bukan janji.” Ucap Debo, kini ia menghadap
ify dan menghapus airmata Ify dengan jari tangannya. “Aku kasih kamu kesempatan
dua minggu buat ngubah itu semua. Kalau kamu nggak berubah juga, maaf kita
harus berakhir.” Ucap Debo tegas, Ify memeluk debo dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Nggak De,,, Nggak. Aku nggak mau kita berakhir, aku akan
buktiin semuanya sama kamu.” Ucap Ify, Debo tersenyum dan balas memeluk Ify
erat. Akhirnya rencananya berjalan lancar, ia tersenyum dalam hati. Tak sia-sia
ia menahan rasa sakitnya saat mengucapkan kata ‘putus’ yang merupakan sebagian
rencananya.
***Game Of Destiny***
Chelsea melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul
14.30, sudah setengah jam dari jam pulang sekolah dia menunggu supir
jemputannya di halte depan sekolah. Sebenarnya bisa saja dia ke sekolah
kakaknya dan ikut pulang bersama kakaknya tapi dia baru ingat kebiasaan
kakaknya yang suka shopping dulu sebelum pulang ke rumah.
“Belum pulang Chel?” Chelsea terlonjak kaget mendapati Bagas
terduduk di sampingnya di bangku halte. Chelsea tersenyum kikuk, walau sering
ia dekat dengan Bagas tapi ia selalu canggung jika dekat dengan pria ini.
“Belum.” Jawab Chelsea singkat. Tangan Chelsea sudah
berkeringat dingin, lama-lama bisa mati terduduk dia akibat dekat terus dengan
Bagas. Ini kenapa lagi si jantung melompat-lompat. Gerutu Chelsea dalam hati.
“Loe kenapa belum pulang?” Tanya Chelsea sebiasa mungkin.
“Sopir gue belum datang.” Jawab Bagas, Chelsea bingung
sendiri mau nanya apa lagi, lebih baik ia diam saja. Sesaat kemudian suasana
menjadi hening, bagas sibuk dengan BB-nya. Chelsea melirik ke arah Bagas yang
tampak senyum-senyum sendiri memandangi BB-nya, mungkin BBM-an sama cewek kali.
Chelsea tersenyum kecut, kenapa ia tak rela ya kalau Bagas BBM-an sama cewek
lain. Ahh…Sudah lupakanlah Chelsea, Bagas bukan siapa-siapamu.
Chelsea terperangah mendapati HP-nya berbunyi…
Mang Asep Calling…
Dengan cepat Chelsea mengangkat panggilan tersebut, “Hallo…”
“Oh…” Chelsea menutup panggilan tersebut dengan kecewa. Bagas diam-diam
memperhatikan wajah Chelsea yang tampak putus asa.
“Kenapa Chel?” Tanya Bagas
“Sopir gue nggak bisa jemput, mobilnya mogok.” Jawab Chelsea
“Bareng gue mau?” Tawar Bagas
“Nggak ah, ntar ngerepotin.” Tolak Chelsea, dalam hati ia
merutuki kebodohannya menolak tawaran Bagas. Kapan lagi diantar Bagas pulang,
kesempatan tidak datang dua kali.
“Nggak kok. Udah, bareng gue aja. Sekolah udah mulai sepi, loe
mau pulang sama siapa lagi.” Ucap Bagas, Chelsea tersenyum. “Ya udah deh.” Ucap
Chelsea pasrah. Bagas tersenyum sumringah, hatinya senang Chelsea menerima
tawarannya walau tadi butuh paksaan sedikit.
“Tuh, mobil gue. Yuk Chel.” Ajak Bagas menghampiri sebuah
mobil yang baru saja berhenti tepat di depan mereka. Chelsea dan Bagas masuk ke
dalam mobil tersebut dan duduk di jok belakang.
“Pak… Ngantarin Chelsea dulu ke perumahan Asri ya.” Perintah
Bagas pada supirnya, Mang Kadir menganggukkan kepalanya mematuhi perintah
majikannya.
Selama dalam perjalanan mereka hanya diam, Bagas dan Chelsea
sama-sama bingung untuk memulai pembicaraan. Selama ini mereka berbicara jika
ada sahabat-sahabat mereka di dekat mereka, kalau dalam keadaan berdua begini
mereka terasa canggung.
Mang Kadir yang sudah mengenal Chelsea karena Chelsea dan
teman-temannya serig main ke rumah Bagas dan Mang Kadir yang kebagian tugas
mengantar mereka setiap pulang akhirnya membuatnya menjadi tahu dimana letak
rumah Chelsea.
Mang Kadir mengehentikan mobilnya di depan sebuah rumah
mewah berwarna putih, Bagas dapat melihat rumah tersebut karena gerbangnya
terbuka sebagian.
“Makasih ya Gas…” Ucap Chelsea diiringi sebuah senyuman.
Bagas balas tersenyum.”Sama-sama.” Chelsea kemudian keluar dari dalam mobil
Bagas dan mobil itu pun melesat meninggalkan kediaman Chelsea.
“Elo nggak dengerin ucapan gue ya?” Chelsea terkejut dikarenakan
sebuah suara yang tiba-tiba muncul. Gadis itu membalikkan badannya dan
mendapati Shilla bersandar pada pinggir gerbang rumah mereka, penampilan Shilla
hanya menggunakan kaus belel ketat dan celana jeans pendek di atas lutut,
rambutnya ia sanggul secara asal namun tak mengurangi kecantikan gadis itu.
“Ucapan yang mana?” Tanya Chelsea kemudian masuk melewati
Shilla. Shilla berdecak sinis kemudian mengikuti Chelsea dari belakang.
“Elo udah pikun atau pura-pura pikun.” Ucap Shilla kesal,
Chelsea mendesah berat. Sebenarnya dia ingat tapi demi ingin melihat reaksi
Shilla bagaimana kalau dia sudah lupa.
“Mobil mang Asep mogok dijalan terpaksa gue terima tawaran
Bagas untuk nganterin gue pulang.” Ucap Chelsea datar.
“Kenapa elo nggak minta pulang bareng sama gue?” Tanya
Shilla
“Gue kira elo tadi shopping dulu sama temen-temen elo.”
Jawab Chelsea kemudian naik ke tangga menuju lantai dua. Shilla masih mengikuti
dari belakang.
“Ok! Alasan elo gue terima, kalau lain kali gue lihat elo
dekat dengan Bagas, gue nggak akan segen buat elo tinggal di Paris, sama Oma.”
Ancam Shilla.
Chelsea menggerutu, “Iya, bawel Loe ah.” Ucap Chelsea lalu
masuk ke dalam kamarnya. Pikirannya sudah pusing akibat memikirkan Bagas
ditambah lagi omelan kakaknya yang tergolong tidak bermutu.
“Sampai kapan semua akan berakhir…” Gumam Chelsea kemudian
menghempaskan tubuhnya di Sparing Bed.
***Game Of destiny***
Suasana dimeja makan itu tampak begitu hening, hingga suara
deheman memecahkan keheningan yang terjadi. Semua menghentikan makan mereka
yang sudah selesai dan menatap seseorang pria dewasa yang sudah berkepala empat
yang berdehem tadi.
“Papa dengar kamu buat ulah lagi Fy?” Tanya pria itu, Ify
menghela nafas. Siapa lagi sih yang membeberkan ini pada papanya? Pihak
sekolah? Nggak mungkin, karena mereka nggak tahu perihal kejadian Ify dikantin
tadi. Tiba-tiba Ify teringat pada seseorang, mata iIfy pun langsung tertuju pada
orang tersebut.
“Fy…” Panggil Papanya karena Ify tidak kunjung menjawab. Ify
menatap malas Papanya, “Bukan Ify yang buat ulah Pa tapi ada orang yang cari
gara-gara duluan sama Ify.” Ucap ify, matanya melirik Keke yang menurutnya
memasang wajah sok polosnya.
“Maka dari itu kamu tarik rambut Keke sampai rontok dan
menjadikan semua itu tontonan penghuni sekolah.” Bentak papa Ify, nyali Ify
menciut kalau mendengar Papanya membentaknya. Ia meremas-remas ujung bajunya
kebiasaannya jika dia dimarahi. Bagas yang ada di samping Ify menggenggam
tangan kakaknya, tak tega melihat kakaknya dibentak tapi dia tak berani
menolong kakaknya itu mengingat siapa lawan kakaknya, Papanya.
Mama Nadia yang ada di dekat Papa Ify mengelus pundak
suaminya agar bersabar, “Sabar Mas… kamu nggak boleh marahi Ify, kasian dia.”
Ucap Mama Nadia tak tega, walaupun ia bukan ibu kandung Ify tapi ia merasa
kasihan melihat Ify dibentak seperti itu.
“Biar Ma,,, biar dia sadar kalau kelakuannya sudah memalukan
Papa.” Ucap Papa Ify, Ify tertunduk, perkataan papanya sangat menyakiti
hatinya. Airmatanya mulai menetes, dan ini adalah ketiga kalinya setelah
Mamanya meninggal dan hampir diputuskan Debo. Hati Ify memanas mengingat
rentetan kejadian hari ini, hari ini ia telah mengeluarkan dua kali airmata dan
itu semua karena satu orang yang sama, Keke.
“Jangan marah sama Kak Ify Pa, Kak Ify nggak salah. Semua
salah Keke, kalau Keke nggak numpahin minuman ke blazer kak Ify pasti kak Ify
nggak akan membuat keributan.” Bela Keke.
Ify yang mendengar itu tersenyum sinis, gadis sok alim itu
mulai cari perhatian pada papanya. Ify sudah tidak tahan, ia bangkit dari
duduknya.” Jangan pernah belain gue karena gue nggak sudi dibelain sama elo,
Gabriel Thalita. Dan untuk elo Tante Nadia jangan sok manis di depan papa gue.”
Bentak Ify kemudian pergi dari sana menuju kamarnya.
“Ify jaga omongan kamu…” teriak Papa Ify, namun Ify tak
perduli, ia tetap naik ke lantai dua menuju kamarnya. Kenapa ia harus perduli
pada ucapan papanya kalau papanya saja tak memperdulikan dirinya. Papanya
memang tak perduli apa yang diinginkannya, papanya tak perduli bahwa ia
menginginkan ketidakhadiran dua wanita itu di rumah ini, papanya tak perduli
kalau dia menginginkan posisi mamanya tidak diganti oleh siapapun, papanya
tidak perduli sesakit apa hatinya saat papanya selalu dan selalu membela Keke
yang jelas-jelas bukan anak kandungnya. Papanya tak pernah perduli semua itu.
Ify menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan
menenggelamkan wajahnya dengan bantal. Ia masih belum berhenti menangis,
hatinya masih sakit mengingat setiap perkataan papanya.
Tok!!!Tok!!!Tok!!!
Ify tak menggubris ketukan itu, ia masih saja bertahan pada posisinya. Lambat laun ia mendengar pintu itu dibuka.
Ify tak menggubris ketukan itu, ia masih saja bertahan pada posisinya. Lambat laun ia mendengar pintu itu dibuka.
“Kak…” Ify dapat mendengar Bagas memanggilnya dan ia dapat
merasakan bahwa Bagas sedang duduk di tepi tempat tidurnya. Ify bangkit dari
tidurnya dan dengan tiba-tiba memeluk Bagas.
“Gue kangen sama Mama Gas…” Lirih Ify di tengah isakannya,
Bagas tersenyum pahit.”Gue juga Kak.” Ify melepaskan pelukannya dan menatap
Bagas yang juga ikut menangis akibat terbawa suasana.
“Loe jangan nangis Bego, malu gue punya adik cengeng kayak
elo.” Ejek Ify dengan nada bercanda walau ada sedikit isakan karena ia menangis
tadi. Bagas menghapus airmatanya dan memanyunkan bibirnya, ia tersenyum dalam
hati kalau kakaknya ini tidak suka menciptakan suasana yang begitu mellow.
“Biarin. Elo juga cengeng.” Jawab Bagas, Ify mencubit pipi
Bagas gemas.
“Gue baru nyadar kalau sekarang elo udah besar Gas…” Ucap
Ify, ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru-warna kesukaannya.
“Berapa lama ya kita nggak menghabiskan waktu bersama-sama
lagi.” Gumam Ify
Sejak elo berubah kak, kita nggak pernah sama-sama lagi
kayak gini… Ingin sekali Bagas mengucapkan kalimat itu namun ia harus menahannya
karena ia tak mau emosi kakaknya terpancing kembali.
“Minggu Loe ada acara nggak? Gue pengen jalan-jalan sama elo
dan Alvin.” Tanya Ify
“Nggak ada. Elo pengennya kita bertiga aja Kak?” Tanya Bagas
balik, Ify mengangguk. “Yailah, memang mau siapa lagi yang ikut?” Ucap Ify
“Kak Keke…” ucap Bagas takut-takut. Ify tersenyum kecut,
Keke lagi Keke lagi…
“gue pengennya kita bertiga aja tapi kalau elo mau dia ikut
ya up to you lah.” Ucap Ify malas
Bagas jadi merasa bersalah karena kakaknya kembali murung,
“Ya udah deh. Minggu, kita jalan bertiga. Bilangin ke kak Alvin, Loe kan satu
sekolah dengan dia.” Wajah Ify berubah sumringah, dia memeluk Bagas sebentar.
“Bener ya kita bertiga? Awas aja kalau Loe ngajak dia. Ok,
ntar gue bilang sama Alvin.” Ucap Ify senang. Bagas tersenyum, ia baru saja
melihat Ify yang dulu. Ify yang ceria dan riang.
***
Kak lanjut penasaran nih lgy asik" baca udah ngk ada lanjutannya c...
BalasHapusKak lanjut penasaran nih lgy asik" baca udah ngk ada lanjutannya c...
BalasHapus